“Clean Up Your Own Mess!”

Siang tadi kebetulan saya dan istri harus makan siang di Sevel (7-11) karena sedang buru2. Sesudah membayar, kamipun mencari tempat duduk. Seperti biasa, banyak meja yang kosong tapi kotor dengan sisa makanan dan minuman yang dibiarkan di meja. Kami pun hanya bisa menghela napas dengan sedikit jengkel. Budaya membersihkan sisa makanan sendiri di restoran cepat saji memang belum umum di negeri ini.

Dulu saya pun termasuk yang tidak mengerti soal ini, sampai suatu saat saya tinggal di Australia selama 2 tahun untuk kuliah postgraduate. Di sana saya baru tahu bahwa di fast food joints (seperti McDonalds, Burger King, dll), pengunjung membersihkan sendiri mejanya seusai makan. Minimal sekedar membuang semua bungkusan, gelas kertas, dan sampah lain ke dalam tempat sampah yang disediakan. Sesudah kembali ke tanah air, kebiasaan ini tidak bisa saya hentikan. Sampai sekarang jika makan di McDonald’s atau restoran fast food lain, pasti sisa makanan saya bawa dengan tray (baki) ke tempat sampah, dan tray diletakkan di tempatnya. Kalau kebetulan makan di Starbucks yang menggunakan piring kaca, ya sesudah makan piringnya dikembalikan ke barista.

Di negeri ini perilaku ini memang belum dibiasakan. Mungkin banyak dari kita yang masih menyamaratakan perilaku di restoran biasa, di mana makanan diantarkan dan dibersihkan oleh waiter/waitress, dan restoran fast food, di mana kita mengambil sendiri makanan dan (seharusnya) membersihkan sendiri juga untuk pengguna meja berikutnya. Saya membaca tentang bagaimana pengunjung IKEA di Tangerang meninggalkan begitu saja sisa makanan mereka, sementara di semua IKEA di negara lain pengunjung sudah biasa membersihkan sisa makanannya sendiri (dengan mengembalikan tray kotor ke lemari yang disediakan). Sevel sendiri tampak berusaha mengedukasi hal ini dengan menempelkan tulisan di setiap meja untuk membersihkan sendiri kotoran/sisa makanan kita. Mari kita lihat berapa lama dibutuhkan sampai orang-orang mulai terbiasa melakukannya.

Sebenarnya fenomena “meninggalkan sampah sendiri” bisa dimengerti secara kultural. Kita mungkin memang belum terbiasa saja dengan kebiasaan ini (walaupun restoran fast-food sudah ada di Indonesia selama puluhan tahun), dan juga karena tidak ada edukasi serius dari pihak pengelola restoran. Tetapi ada faktor2 lain yang mungkin menghambat bangsa kita untuk mau memulai kebiasaan membersihkan meja sendiri.

Waktu saya mengangkat isu ini di platform ask.fm, ada beberapa suara sumbang yang berkata “Ngapain sih dibersihin sendiri? Nanti keenakan dong para karyawannya, digaji tapi nggak kerja”. Beberapa follower lain juga menimpali dengan cerita ketika mereka hendak membersihkan sendiri sisa makanan mereka, mereka dicemooh oleh teman-teman dan bahkan ibu mereka sendiri.

Saya menyebut hal ini sebagai “mental majikan”. Sepanjang ada orang lain yang menurut kita sudah dibayar untuk membersihkan, kita merasa tidak berkewajiban membersihkan piring/meja kita sendiri. Bahkan kita merasa “rugi” jika harus melakukan itu, karena sudah orang lain yang diupah untuk melakukannya. Typical kelas menengah/atas yang terbiasa memiliki Asisten Rumah Tangga. “Saya kan sudah bayar, jadi saya majikan. Masak saya juga yang membersihkan?!”

Padahal sebenarnya kalau kita perhatikan, restoran fast food memiliki jumlah staf yang sangat terbatas, dan hampir semuanya dialokasikan di belakang konter atau dapur, tidak seperti restoran “biasa” yang memang ada waiter/waitress yang kerjanya menunggui meja. Membersihkan piring sendiri tidak hanya soal membantu staf yang terbatas, tetapi juga perilaku memikirkan orang lain (being considerate) yang hendak menggunakan meja sesudah kita.

Saya jadi terpikir apakah “mental majikan” ini juga ada di aspek hidup lain kita, tidak hanya di restoran siap saji. Dari hal sesepele membuang sampah sembarangan dari mobil/motor kita, karena merasa toh ada “tukang sapu jalan”, sampai hal-hal serius seperti politik dan pemerintahan. Kita selalu merasa bahwa harus ada orang lain yang membersihkan kotoran dan sampah kita, always someone else to clean up our mess. Kita paling cepat mencerca presiden, menteri, gubernur, guru jika kita merasa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka, karena kita merasa sebagai “majikan”. Korupsi, Rupiah melemah, banjir, macet – oh itu salah pejabat! Anak sekolah berkelahi, mengakses pornografi, menggunakan narkoba – oh itu salah guru! Majikan tidak pernah salah.

“Tapi kan gw udah bayar pajak nyet! Ya udah sepantasnya mereka kerja yang bener dong!” Yah, argumen ini memang ada benarnya. Pejabat publik dibayar dari pajak kita. Guru digaji dengan uang sekolah kita. Tetapi “mental majikan” juga tidak membantu sama sekali. Sama seperti tamu restoran fast food yang tidak membersihkan sendiri sisa makanannya akhirnya membuat restoran tersebut menjadi kotor dan tidak nyaman bagi semua orang.

Kita bisa sangat membantu layanan pejabat publik jika kita pun clean up our own mess. Banyak hal-hal “sampah” yang kita lakukan yang seharusnya bisa kita bersihkan sendiri. Dari literally “sampah” di sungai yang menyebabkan banjir, sampai masalah disiplin seperti tidak mengendarai motor melawan arah, berhenti dengan tertib di lampu merah, mengantri dengan tertib, hemat bahan bakar, mengajar anak moral yang baik, dan banyak sekali hal-hal yang bisa kita lakukan untuk membersihkan “sampah” kita sendiri.

“Mental majikan” adalah egois dan kekanakan. Seperti anak manja menjengkelkan yang selalu menyuruh-nyuruh Asisten Rumah Tangganya seperti raja kecil. Sepanjang bangsa kita masih penuh orang-orang bermental ini, niscaya banyak masalah sosial yang akan lambat sekali bisa diselesaikan. Lawan dari mental majikan ini adalah “mental independen”. Apa yang bisa saya kerjakan sendiri, kenapa menunggu orang lain? Ini bukan soal berharap orang lain yang toh sudah digaji untuk mengerjakan tugasnya. Ini soal membantu rumah besar yang bernama Indonesia ini “bersih” lebih cepat, untuk kenyamanan kita bersama.

Indonesia masih jauh dari ideal, masih banyak “sampah” masalah di masyarakat dan pemerintahan kita. Tetapi jika setiap kita mulai sedikit membantu dengan clean up our own mess, mungkin bisa membantu. Mungkin.

In the mean time, kita bisa mulai dengan sesederhana membersihkan sisa makanan kita di Sevel dan McDonald….

🙂

Categories: Negeriku, Random Insight

36 Comments »

  1. saya termasuk yang sering dibilang aneh karena membereskan sisa makan saat ke BK, semoga semakin banyak masyarakat yang sadar diri ya

  2. Waktu itu pernah makan ama sepupu dari Belanda dan teman2nya di McDonalds trus mereka dah siap angkat tray untuk bersih2 sendiri. As much as I appreciate their effort, karena saya ga mau mereka di mock pengunjung lain, I had to stop them. Mungkin bisa dilihat dari sisi lain. McDonalds sudah tahu dengan karakter “mental majikan” orang Indonesia jadi mereka mempekerjakan lebih banyak orang di counternya untuk bersih2. More employment. Dan di Indonesia, McDonalds atau fast food joints lainnya ga nerima part timers, semuanya full timers (just saying, don’t know how it can relate to the topic)

  3. Di industry creative juga lho. Agency sering dikira babu nya klien karena mereka berpikir ‘gue sudah bayar ya lo kerjain aja ini itu.. Rugi dong sudah bayar mahal”. Mental ndoro. Warisan masyarakat feodal. Di IKEA paling menyedihkan. Sampah yang nggak diberesin sendiri itu numpuk bikin foodcourtnya kelihatan kayak kapal pecah,lama-lama kan membuat mereka hire selusin cleaning service lagi. Dan pasti mereka juga akan bakal naikin harga makanannya.

  4. Awalnya persoalan “membersihkan sendiri” ini tidak saya ketahui, sampai akhirnya ada sodara yang cerita setelah ia pulang dari luar negeri. Sejak saat itu, saya pun mencoba menjadikannya sebagai kebiasaan baru.
    Tentu saja seperti halnya orang (Indonesia) lain yang juga melakukan ini, saya dipandang aneh. Bahkan, sekali waktu, malah ada yang bisik-bisik sambil menertawakan.

    Tapi bukannya malah malu, saya justru bangga. Sesuatu yang bagus dan baik harus dimulai dari diri sendiri dan tetap dipertahankan, meski resikonya harus ditertawakan. Kenapa harus malu?

  5. saya belum pernah ke luar negeri. tapi pernah mendengar tentang kebiasaan ini. Jadi saya mencoba mengikuti kebiasaan ini. awalnya ngerasa aneh sendiri, tapi terus saya lakukan karena kebiasaan ini adalah kebiasaan baik. yuk semua, yang belum pernah melakukan silahkan dilakukan…

  6. Kira-kira mulai tahun 2013 mulai membiasakan diri merapikan sisa sehabis makan di KFC/McD. Walaupun sering dipandang aneh.

    Selain itu mungkin kalau di kakilima/lesehan pinggir jalan, yang bisa dilakukan adalah menumpuk rapi piring2 dan mangkok sehabis makan jadi pelayan tinggal ambil dan bersihkan. Mungkin karena kebiasaan kalau makan di BPK juga kali ya. Hehe.

    Kaitan dengan mental majikan sangat pas dan memang seharusnya diaplikasikan ke yang lain ya biar ga kebiasaan asal komplen, menyalahkan pemerintah, guru, etc.

  7. Well written bung henry! Buat yg menulis “dipandang aneh oleh orang lain”,apa domisilimu di luar Jakarta? Kalau ya, jadilah “agen2” keren utk hal kecil, mendasar tapi jelas baik. (Bagi yg di Jakarta, saya sejak di Jakarta lagi ga dipandang aneh ya. boleh jadi malah cuek/pura2 ga lihat). And i didn’t give a damn care. Keep on doing good things, young people! Saya niatkan jd orang tua yg HADIR dlm hidup anak saya agar ga ada yg disesali. We are raising our only son to be a real gentleman who is caring and know how to be and to do.

  8. Saya termasuk yg baru tercerahkan dengan tulisan ini. Ketika teman saya dulu membereskan bekas makanannya sendiri di McD, dan kasih kode ke saya untuk melakukan hal yg sama, saya masih ga ngerti. Sampai hari ini.

    Tapi kalo soal membereskan piring di meja restoran yg ada pelayannya, memang sudah sering dilakukan dan memang sering dilihatin orang sih.

    Tapi agree. Melakukan hal yg benar walaupun ditertawakan, tetap bikin kepala tegak bangga.l

  9. This mentality indeed needs to change. Kesadaran diri sendiri itu penting karena semua dimulai dari diri sendiri, keren postingannya. Semoga banyak yg baca dan banyak yg mengaplikasikan.

  10. Mbak jgnkan di resto fast food.. di pantry kantor ada beberapa yg meninggalkan piring kotor dan smpah dimeja.. pdhl tinggal ditaruh di meja tmpt kotor.. pdhl sdh ditulis fapat bs menjaga kebersihan ck ck ck… pdhl meja tempat kotornya deket bgt… gak punya manner

  11. halo mas salam kenal … aq suka banget baca tulisan ini
    aq termasuk yang suka ngelap meja yg ada bekas noda makanan kalo masuk resto atau warung baso buat makan soalnya risih ehheheh tapi kalo beresin sendiri di resto fastfood gt emang jarang bgt kecuali pas ke Ikea di alam sutra ituh huhuhuhhu semoga aq juga bisa biasain clean my own mess yah 🙂
    cheers …..

  12. waktu itu baca cerita tentang yang IKEA jakarta..banyak yang gak bersihin sisa atau bekas makananya ya..miris.”mental majikan” gini gak pudar2 yaa…

  13. makanya Jokowi menggalakkan banget program Revolusi Mental kan Oom huahaha.
    Kalo saya sih tergantung lagi buru2 ato engga, kalo buru2 ya tpaksa ga beresin sambil tetep ucapin makasih ke staff yg standby di depan pintu, kalo lg ga terburu-buru ya bersihin lah dikit2 hehe (blm sampe tahap balikin tray) 😀

  14. Dalam bukunya yang berjudul “The McDonaldization of Society”, George Ritzer mengemukakan konsep yang disebut sebagai McDonaldisasi yang mengacu pada proses yang terjadi pada restoran cepat saji (terutama McDonald). Ada 4 komponen utama dalam McDonaldisasi: efisiensi, daya hitung, daya prediksi, kontrol. Untuk memenuhi komponen tersebut, proses kerja dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi rutinitas yang cara kerjanya minim variasi, yang bahkan kalau bisa tidak perlu dikerjakan manusia. Perilaku konsumen pun dikondisikan sedemikian rupa melalui artefak-artefak seperti bentuk meja dan kursi, antrian, piring kertas, baki, dan sebagainya sehingga pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pelayan (seperti membersihkan meja) dilakukan oleh konsumen sendiri (dengan kata lain mengurangi pekerja – prinsip efisiensi). Ini yang sebenarnya terjadi pada tempat-tempat yang ter-“McDonaldisasi”, seperti McDonald (tentu saja), restoran cepat saji sejenis, termasuk juga IKEA (Ritzer menyebutnya “IKEAnisasi).
    Permasalahannya adalah, ketika model yang ter-McDonaldisasi itu diekspor ke negara lain (misalnya Indonesia), apakah terjadi translasi di mana artefak dimaksud dapat menyampaikan “nilai-nilai” tertentu yang diinginkan? Misal, di McDonald, meja dan kursi di-desain sedemikian rupa agar konsumen tidak betah dan ingin cepat-cepat pergi, lalu piring dan gelas terbuat dari styrofoam atau kertas agar praktis tinggal dibuang langsung oleh konsumen setelah selesai makan. Nah, apakah “pesan” ini tersampaikan ke konsumen McDonald di Indonesia? Karena ada banyak faktor yang menyebabkan nilai-nilai tersebut tidak tersampaikan. Di Indonesia, McDonald malah banyak dipakai untuk nongkrong berlama-lama oleh anak-anak muda, padahal konsep awalnya adalah selesai makan langsung pergi. Ini menunjukkan ada kesenjangan antara nilai yang ingin disampaikan (melalui artefak) dengan perilaku yang terjadi. Hal ini bisa disebabkan banyak faktor, termasuk faktor budaya, yang mungkin membuat antara artefak dan perilaku tidak nyambung. Mungkin artefaknya kurang atau tidak tepat, simbol-simbol yang disampaikan kurang dipahami oleh konsumen, atau jangan-jangan si restoran cepat saji itu sendiri tidak memahami konsep awalnya sebagai restoran cepat saji dan tidak paham makna di balik artefak-artefak yang digunakan. Misalnya, kalau ada sofa empuk di McDonald, tentu ini tidak sejalan dengan konsep cepat saji McDonald itu sendiri di mana konsumen diharapkan cepat-cepat pergi. Jadi, jika restoran cepat saji sudah berdiri puluhan tahun di Indonesia namun perilaku konsumennya belum seperti yang diharapkan, dan jika memang restoran-restoran cepat saji (dan tempat lain yang menggunakan konsep McDonaldisasi) itu memiliki visi mulia untuk mengubah kebiasaan orang Indonesia, mestinya restoran-restoran itu mencoba untuk me-review ulang konsep-konsep artefak yang selama ini digunakan. Atau mungkin restoran-restoran cepat saji waralaba impor itu memang tidak terlalu memikirkan perilaku konsumennya di Indonesia, dan karyawan-karyawannya juga mungkin tidak terlalu paham dengan “nilai” yang ingin disampaikan.
    Artefak, sedikit banyak, mampu men-drive perilaku manusia. Konsep ini yangmungkin bisa diterapkan untuk mengubah perilaku. Misalnya soal buang sampah sembarangan, sebenarnya ada contoh bagus soal meminimalisir buang sampah sembarangan, yaitu di Bandung, di mana ada peraturan yang mewajibkan semua kendaraan memiliki tempat sampah sendiri. Adanya tempat sampah di dalam mobil diharapkan bisa meminimalisir naluri ingin buang sampah sembarangan. Di kantin mesjid Salman ITB, setiap selesai makan, baki, piring kotor, gelas kotor, semua ditaruh sendiri oleh konsumen di tempat yang sudah disediakan dan selama ini konsumen selalu melakukannya.
    Akhir kata, mengubah perilaku memang tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan dengan socio-engineering melalui artefak pun sering masih belum mempan juga. Contoh, trotoar ditinggikan, tetap saja dinaiki kendaraan. Separator busway meski dibuat permanen dari batu tetap saja dijebol. Apalagi kalau artefaknya tidak ada. Di sisi lain, kita rasanya juga perlu mengkritisi apakah tempat-tempat yang ter-McDonaldisasi itu memang ingin menyampaikan nilai-nilai tertentu, seperti “kemandirian” (misalnya), atau hanya sekedar mengejar 4 hal yang menjadi prinsip utama McDonaldisasi itu sendiri: efisiensi, daya hitung, daya prediksi, kontrol.

    • Menarik bahasannya ttg artefak sebagai media penyampai pesan.
      Tapi masalahnya artefak tersebut sudah serupa dan distandarkan antara McD disini dan diluar.

      Saya tidak tahu dengan gerai McD di US, tapi di Singapura, Amsterdam, dan Milan semua sama, bahkan di Milan ada gerai McD 2 lantai dengan sofa di lantai atas dan pemandangan gereja klasik Duomo, secara konsep interior jelas dimaksudkan untuk ‘nongkrong’.

      Tapi kebiasaan membersihkan makanan kita sendiri tetap berlangsung dengan lancar kok. 🙂

      Mungkin pendekatannya harus dilakukan oleh staf McD, kalau saya akan menyediakan satu atau dua staff yg khusus mengingatkan pengunjung. Kemungkinan tidak laku? ada, tapi saya percaya sih konsep branding cuci otak McD lebih kuat. 🙂

      • Ya makanya saya bilang semua tergantung banyak faktor, termasuk budaya. Dan karena itu juga jika kita bicara restoran yang ter-McDonaldisasi, perlu juga dikritisi apakah mereka memang punya visi untuk mengubah perilaku atau hanya mengejar 4 prinsip McDonaldisasi itu tadi. Sebenarnya jika ingin menggunakan artefak sebagai alat untuk mengubah perilaku orang, yang paling tepat untuk melakukannya adalah pemerintah, melalui pembangunan infrastruktur (dan lain-lain) yang sedemikian rupa,misalnya, sehingga orang mau tidak mau harus mengubah perilakunya. Kan katanya mau revolusi mental. Tentu dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Karena berbagai faktor yang ada seringkali menyebabkan pesan tidak tersampaikan. Artefak yang sama, tetapi masyarakatnya berbeda, budayanya berbeda, belum tentu penerimaannya juga sama.

  15. a very good blog post, om. konsep “clean up your own mess” ini pun juga hadir di hostel. orang-orang yang malas membersihkan sisa-sisa makanannya itu seharusnya sesekali menginap di hostel dan merasakan saat sarapan yang harus membersihkan (hingga mencuci piring dan gelas kotor) sendiri.

  16. Udah dikenalkan konsep ini pas dari jaman pacaran ama suami (tahun 2011). Sama sekali ga pernah ke luar negeri, tapi kebiasaan ini udah diterapkan sejak saat itu dan akan diterapkan ketika punya anak nantinya. Kalo di tempat makan yang banyak pelayannya, kebiasaan numpuk piring kotor udah dari jaman smp malah, gara2 pernah bantuin di tempat teman.

    Kebiasaan yang masih dipandang aneh padahal baik banget. Meringankan pekerjaan orang kan ga ada salahnya.

  17. Reblogged this on atlastico and commented:
    Ijin share, Om..
    nice post like always! IMHO, Pesan dalam tulisan ini juga sejalan dengan pesan: if you can’t make it better, don’t get it worse. This refers to: orang yang ninggalin sisa kerjaan dengan berantakan ketika pindah kantor, dan terpaksa kita yang harus ngeberesin. Kinda irresponsible attitude.

  18. Saya dulu seperti itu, tapi ketika seorang kawan yg kuliah S2 di Jepang bercerita kalau masyarakat sana selalu membersihkan mejanya setelah makan, saya jadi malu sendiri..
    Walau kebanyakan orang Indonesia jarang membereskan makanannya sendiri, setidaknya saya memulai dari diri saya sendiri dulu dan mengajarkan anak saya untuk selalu membersihkan sisa makanan dan alat makan di meja..

  19. Semua yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil ya, Mas. Setuju. Pelan-pelan, kita harus mulai mengubah sikap dan perilaku nih, dimulai dari sengatan pola pikir seperti ini :hehe. Terima kasih.

  20. Setuju sekali dengan tulisan mas… Di tempat kerja saya sudah diberlakukan hal itu namanya service your self… jadi mau minum atau makan ambil sendiri dan bertanggung jawab membersihkan tempanya sendiri…. Itu menjadi kebiasaan saya ketika dirumah jika melihat ada piring atau gelas yg kotor penginnya membersihkan… Akan tetapi untuk mengajarkan hal tersebut kepada orang lain masih susah sampai dengan saat ini. Kalau di tempat kerja saya diberi punishment bagi yg tdk melakukan sehingga akan membuat jera pemalas-pemalas…

  21. Saya belajar hal ini kurang lebih 10 thn yg lalu ketika melihat bule setelah makan di mcd langsung membereskan sisa sampah makanannya. Dan dpt info jg dr tmn yg pernah training di florida memang seperti itulah kebiasaan mereka setelah makan di fast food rest. Dan karena itu sya sudah 10 thn mengimplementasikan budaya ini setiap setelah menyantap makanan di fast food rest. Bangga? Pasti setidaknya melatih diri utk tidak malas atau mental majikan

  22. Mantap, ini cukup memberi saran dan kritikan orang indonesia…. saya sering juga begitu, tetapi kata temen saya ” Biar aja ada ja acil kantin membarasihi” itu bahasa banjar yang artinya “biarin saja kan ada ibu kantin membersihkan”. Ya pokok nya saya respect dengan anda, meniru budaya yang baik dan jangan seperti mental majikan

  23. Saya termasuk yang baru mengetahui kebiasaan “clean up your own mess” belakangan ini setelah banyak dibahas di media sosial. Ada satu komentar menarik di atas yang membahas tentang artefak dan simbol. Mungkin bagi banyak orang, pesan dalam artefak dan simbol yang dimaksud memang kurang tersampaikan dengan baik kepada konsumen Indonesia hingga sayapun, yang sebenarnya tidak keberatan membersihkan sendiri meja setelah makan, tetap membiarkan piring dan sisa sampah di atas meja. Semata-mata karena ketidaktahuan, bukan malas.
    Karena (untungnya) hal itu hanya saya lakukan di tempat yang memiliki atribut “restoran” cepat saji seperti McD. “Restoran” dalam pengertian saya, selalu memiliki prosedur membersihkan meja setelah dipakai konsumen, dan hal itu dilakukan oleh karyawan. Tapi tidak di gerai minimarket seperti Sevel atau Circle K yang menurut saya esensinya merupakan “toko makanan” yang kebetulan menyediakan meja dan kursi. Di minimarket, saya membersihkan sendiri meja setelah selesai menggunakan. Maka dalam kasus saya, istilah dan konteks cukup berperan.
    Dengan ketidaktahuan sebagian besar masyarakat, artefak dan simbol di restoran cepat saji hampir selalu tidak dapat tersampaikan sesuai target. Mungkin pelan-pelan pesan tersebut memang harus disampaikan secara langsung, misalnya dengan papan peringatan yang terpampang di dalam gerai.

Leave a comment